Blinking Hello Kitty Angel Jurnal Bunga Matahari: Februari 2019

Sabtu, 09 Februari 2019


Ibu sayang,
Tanggal dua Februari kemarin akhirnya aku berhasil menyelesaikan perkuliahan di tingkat sarjana.
Menggunakan toga dan tak dapat menyembunyikan seutas senyum bangga.
Sebenarnya aku sangat ingin kau melihatku di sana. 

Ibu sayang,
Ibu akan merasa bangga juga, kan?
Anak perempuanmu yang dulu sangat takut untuk memulai sesuatu yang baru, tak bisa pergi jauh darimu, mudah sekali menangis dalam keputusasaan, akhirnya berhasil melewati satu lagi tahap yang sulit
tanpamu.
Pulang pergi dengan jarak yang tidak dapat dikatakan dekat,
Bawaan yang terkadang terlampau berat,
Tak jarang harus pulang ketika gelap sudah pekat.
Rasanya ingin aku menelponmu dan meminta untuk dijemput seperti enam tahun yang lalu di saat hujan lebat.
Ketika keningku berkerut,
Mencoba memahami segalanya dengan runut,
Tapi terkadang akhirnya aku mengalah dan membiarkan semuanya kusut.
Hari-hari ketika sebenarnya aku hampir tak kuat lagi,
Tubuhku lelah, pun jiwaku.
Perasaanku mulai memainkan perannya lebih besar daripada logika.
Keluhan dalam hati menjadi kebiasaan sehari-hari.
Hingga pada suatu waktu aku berusaha untuk tidak peduli,
dan membiarkan ego-ku menyelimuti.
Malam-malam ketika aku hampir menangis,
Tapi aku tahu itu tidak menyelesaikan masalah
Dan sesuatu yang kuusahakan dengan sungguh pasti berbuah indah.
Meskipun tidak ada lagi kentang goreng hangat dan sosokmu yang menemani seperti saat aku berusaha keras menghafalkan rumus fisika untuk ulangan keesokan harinya.

Ibu sayang,
Undangan wisuda diperuntukkan untuk dua orang.
Salah satunya untukmu. Ada satu bangku yang dipersiapkan untukmu.
Aku mau ketika keluar dari ruangan yang pertama kali ku peluk adalah tubuhmu.
Tapi takdir Tuhan, siapa yang tahu.
Namun tak apa, ketidakhadiranmu yang memaksaku untuk belajar jadi wanita yang dapat menguasai ketakutannya.
Tenang saja, banyak orang baik di sekelilingku yang didatangkan oleh Tuhan.

Ibu sayang,
Jika sekitar enam tahun lalu aku berada dalam ketidakyakinan,
apakah bisa aku menjalani semuanya setelah kehilangan.
Sempat terombang-ambing dengan ketidaksadaran.
Aku yang sekarang sangat percaya bahwa raga dan jiwamu saja yang sudah sirna.
Untaian doamu tidak.
Doa yang dipanjatkan bertahun-tahun yang lalu semakin kurasakan.

Ibu sayang,
Aku tak tahu apalagi yang akan ku hadapi
Masalah sebesar apa
Kebahagiaan apa
Kesedihan apa
Tapi sekali lagi, tenang saja.
Jangan khawatir seperti ketika hujan deras membuatku tidak bisa pulang.
Aku semakin kuat, percayalah.
Setidaknya,
Aku berusaha untuk semakin kuat.