Blinking Hello Kitty Angel Jurnal Bunga Matahari: Perkara Kekhawatiran.

Selasa, 11 Mei 2021

Perkara Kekhawatiran.

Disclaimer: 

Aku nggak menulis ini untuk dikasihani atau mendapat simpati. No, and big no. Masih banyak orang yang mengalami hal yang lebih rumit dan berat. Seperti yang pernah aku jelaskan di tulisan sebelumnya, aku cuma berharap tulisan ini bisa "menemani" mereka yang merasakan hal sama. 

Karena, aku suka ketika sedang merasa buruk, aku menemukan tulisan-tulisan orang yang mengalami hal yang sama. And yes, they still shining. Kayak, "Hei! Dia mengalami ini juga dan bisa melaluinya, kok" atau sesederhana merasa lega karena aku gak sendirian. 

                                                                        ***

Kira-kira sejak setahun yang lalu, ada yang aneh dengan diriku, tapi sepertinya aku baru menyadari setelah beberapa kali mengalami. 

Diawali dari aku yang selalu merasa kelelahan untuk hal-hal sederhana. Setiap melakukan hal-hal sepele kayak nyuci piring, beresin rumah, aku merasa harus merebahkan diri sebentar di kasur atau sofa. 

Lanjut dengan suasana hatiku sangat amat mudah berubah. Beberapa menit sebelumnya aku masih ketawa-ketawa, tiba-tiba aku bisa...sedih. Gak tau kenapa. 

Aku sering banget menghubungi teman-teman dan cuma bilang "Aku sedih/aku lagi gak jelas :(" "Kenapa?" "Gak tau:(" kayak gitu. 

Perbedaannya juga sangat terasa ketika aku pulang dari kantor. Di kantor aku merasa seneneg-seneng aja. Ketawa, bercanda, semuanya baik-baik aja. 

Tapi ketika pulang ke rumah. Aku bisa tiba-tiba sedih, kayak..hampa(?), kehilangan keinginan untuk melakukan apa-apa, mengkhwatirkan macam-macam. Bahkan gak jarang tiba-tiba aku..nangis. Beneran gak jelas. Padahal di kantor aku udah bikin daftar hal yang harus dilakukan. 

Tapi pagi harinya, aku bingung tadi malam nangis karena apa. 

Dilanjut dengan aku yang bisa sama sekali gak mau ngelakuin apa-apa. Se-ha-ri-an. Iya, seharian. Ini sering banget terjadi di hari libur, sabtu dan minggu. Yang dirasain apa? lemes, bingung, dan sedih. Pernah sampai nangis? o tenang saja, sering. 

Padahal aku seratus persen pingin banget bisa bangun dan melakukan semua hal yang udah aku rencanain. Aku cuma bergerak untuk kegiatan pribadi kayak mandi, solat, makan (itu pun ketika perutku udah mulai keroncongan), dan hal-hal yang memang HARUS dilakukan. 

Di sabtu dan minggu itujuga  ada kegiatan pertemuan rutin melalui video call dan Zoom. Dan ya, aku cuma memaksa diri untuk menghadiri itu dan seringkali skip karena benar-benar nggak kuat dan sangat amat nggak pingin ketemu siapa-siapa. 

Aku tau, bakal ada yang ngomong seperti ini: 

Halah, itu mah cuma males namanya.  

Aku pikir awalnya juga gitu.  Tapi, setelah aku nggak melakukan apa-apa aku selalu merasa bersalah banget. Aku benci diriku sendiri.  

Lemes, bingung, sedih, nyesel, dan merasa bersalah. Sip, lengkap. Abis itu? paling nangis, lagi. 

Jadi bisa dibilang penampakanku di minggu sore selalu benar-benar seperti zombie. 

Karena itu aku lebih suka kalau hari kerja. Pergi ke kantor, karena seenggaknya kesibukan bikin aku nggak merasakan hal-hal aneh itu. But still, aku tetep jadi lebih sensitif. Ada hari-hari di mana bawaannya pingin nangis aja. 

Aku jadi lebih panik. Ada sesuatu yang dadakan, berubah dari jadwal, gak sesuai dengan yang sudah ku atur, aku bakal frustasi. Ya marah, ya kesal, ya sedih, ya bingung. 

Aku lebih sering mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti akan benar-benar terjadi. Sampai-sampai aku pernah berpikir ketika masakanku gagal, aku mikir "Gimana kalau nanti punya mertua yang sebel sama aku gara-gara aku gak bisa masak?"

Dan yang lebih sering muncul adalah, 

"Masih sendiri aja aku sering kesulitan manage waktu antara rumah dan kerjaan, gimana kalau nanti aku nikah?"

Andai aku bisa ngomong sama aku di waktu itu, aku bakal ngomong:

HEI KAPAN ANDA MENIKAH DAN MERTUA ANDA SIAPA AJA BELUM JELAS SIAPA NGAPAIN PAKE MIKIR KAYAK GITU SEGALA? 

YANG PENTING KAMU UDAH USAHA, KAMU JUGA MAU DAN LAGI BELAJAR, 

KECUALI KAMU CUMA SANTAI-SANTAI, BERKHAYAL SUPAYA NANTI PUNYA LEBIH DARI SATU ASISTEN PRIBADI DAN HIDUP SEPERTI PUTRI, BARU KAMU KHAWATIR. 

Gitu. 

Tapi karena aku merasa perasaan-perasaan itu lama-lama mengganggu, aku mulai mencari bantuan. 

No. Aku gak mau self-diagnose ini itu. Karena, self diagnose itu menurutku kayak kamu ngasih sugesti ke diri kamu sendiri tentang sesuatu yang sebenarnya gak kamu alami, gitu, lho. Jangan ya, plis, jangan. 

Aku coba menghubungi layanan dari salah satu instansi kesehatan jiwa milik pemerintah dan disuruh melakukan tes skrining kesehatan jiwa yang mereka sediakan. 

Hasilnya? 

Untuk beberapa tes, hasilnya harus ke psikiater. 

Awalnya aku mikir, "Ini semua hasilnya menyarankan harus ke psikiater kali, ya? Gak ada bedanya."

(mohon maaf ya bapak ibu atas ke-sok-tahuan manusia ini, marahin aja marahin)

Sampai akhirnya di tes gangguan kecanduan game online, hasilnya beda. Aku dinyatakan bebas dari kecanduan. Ya iya, jelas. 

Jadi, hasil beberapa tes yang awal tadi..bener gitu?

Akhirnya cerita ke mbak dan dia menyarankan untuk langsung konsultasi ke psikolog supaya dapat jawaban pastinya. 

Alhamdulillah, salah satu orang tua adek kelas ada yang psikolog, jadi aku langsung hubungi beliau dan sambutannya sangat baik sekali. 

Di hari H konsultasi, setelah menjalani beberapa tes, aku cerita semuanya yang aku rasain. Aku tau aku bawel banget saat itu.

Dan hasilnya?

Beliau bilang ada beberapa kemungkinan kenapa aku merasakan hal-hal seperti itu:

1. Aku "kaget" dengan perubahan yang terjadi di sekitarku dan belum sepenuhnya beradaptasi. Dan, semua yang terjadi itu, ternyata "kapasitasnya" melebihi "energi" yang aku punya dan ya, aku memaksa diri untuk melakukan hal-hal di luar kapasitas energiku. 

Beliau bilang, 

"Kapasitas energi setiap orang itu beda-beda. Saya nggak bilang kamu lemah. Misalnya, kapasitas energi kamu itu 100 tapi, yang kamu paksa untuk lakukan semua itu membutuhkan energi 200. Hasilnya apa? kamu lelah. Dan lelah itu kamu timbun. Untung gak sampai "meledak", kan?"

Aku nggak tahu apa yan beliau maksud "meledak" tapi beliau ngomong itu dengan wajah serius. Takut. 

"Solusinya apa? bikin skala prioritas dan jangan paksa diri kamu kalau sudah merasa lelah. Rumah kotor dikit? gapapa. Kerjaan belum selesai? gapapa. Istirahat dulu. Kompromikan dengan orang-orang di sekitar. "

2. Aku terlalu memaksa diri untuk teratur dan stick to the plan sampai-sampai aku gak bisa menerima sesuatu yang terjadi di luar itu. 

Beliau bilang, 

"Kamu harus selalu siap untuk hal-hal yang terjadi tiba-tiba. Memang wajar karena bagian otak (aku lupa apa namanya, hehe) akan merespon sesuatu pertama kalinya dengan metode defensif atau melindungi diri. Makanya kamu panik. Jadi, biasakan tenang dulu, tarik napas, dan biarkan bagian otak kamu untuk melanjutkan informasi tentang apa yang terjadi dan merespon dengan lebih baik, mencari jalan keluar."

3. It's just Quarter Life Crisis things. 

Ho. Saat itu aku cuma berpikir, "Oh haha, akhirnya aku ngalamin sendiri hal ini? kayak gini ya rasanya?"

Iya. Segala kekhawatiran tentang masa depan, finansial, merasa belum apa-apa, dan membandingkan diri dengan orang lain yang keliatannya udah punya segalanya, ternyata itu beberapa tandanya. 

Dan beliau bilang, 

"Coba terapkan. "Here and now." Pikirkan cukup apa yang ada di depan mata, saat ini, dan apa yang bisa kamu lakukan. Semua kekhawatiran kamu itu sebatas kekhawatiran dan belum pasti terjadi. Kamu bisa kok, menyiapkan masa depan."

Setelah konsultasi dan menerapkan beberapa saran psikolog, aku mulai bisa menata perasaan-perasaan buruk yang muncul. 

Tapi ternyata, ada hal-hal yang terlewat dan gak aku ceritakan. 

Dan itu menjadi masalah baru. 

Lanjut nanti ya, belum solat dhuha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar